ASSALAMU 'ALAIKUM... SALAM SUKSES DUNIA & AKHIRAT...

SELAMAT DATANG DI BLOG INSPIRASI PENUH HARAPAN. ANDA SUDAH TEPAT BERADA DIBLOG INI KARENA SAYA AKAN BERBAGI KESUKSESAN & KEBAHAGIAAN DENGAN ANDA SAUDARAKU..., AGAR SEMAKIN BANYAK KAUM MUSLIM YANG BISA MERASAKAN NIKMATNYA SURGA DUNIA, BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM...

09 November 2008

Network Marketing vs. Multi Level Marketing

Banyak orang yang menyamakan Multi Level Marketing (MLM) dengan Network Marketing (NM). Menurut saya, hal itu kurang tepat, karena MLM merupakan bagian dari NM. Namun tidak sebaliknya, NM bukanlah MLM.
Kalau di MLM, kita harus merekrut downline untuk mengembangkan bisnis kita. Ini yang banyak kita temui di dalam perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem MLM untuk pemasaran produknya.
Namun tidak demikian dengan NM. Di NM, kita tidak mutlak harus merekrut downline. Siapa pun bisa menerapkan NM untuk memasarkan produk dan jasanya. Dalam NM, kita memanfaatkan relasi yang kita miliki. Contohnya, pemilik showroom mobil mengumumkan kepada relasinya (keluarga dan teman-temannya) bahwa dia buka showroom mobil, supaya mereka kalau akan beli mobil, belinya di showroom dia. Nah, dia juga meminta kepada relasinya tersebut supaya mereka mau memberitahu kepada teman-temannya lagi supaya beli mobil di showroomnya.
Contoh lain, agen asuransi yang meminta referensi dari nasabahnya, ini juga memanfaatkan NM. Tanpa merekrut downline pun agen asuransi bisa jalan dan menghasilkan uang banyak (walaupun di beberapa perusahaan asuransi sang agen bisa merekrut downline untuk mendapatkan komisi jauh lebih besar lagi, tapi ini bukan kewajiban). Berbeda dengan MLM, kalau kita tidak merekrut downline akan sangat sulit (hampir tidak mungkin) untuk mendapatkan komisi besar, karena di MLM omzet dihitung dari grup kita, kalau dalam grup kita hanya terdiri dari kita sendiri, berapa sih jumlah produk yang bisa kita beli sendiri? Pasti kecil jumlahnya, dan komisinya pun kecil.
Internet pun mengenal NM, tapi menurut saya program-program di internet itu adalah MLM, karena kita harus merekrut downline. Kalau kita tidak punya downline, komisi yang didapat sangat kecil. Contohnya program-program yang membayar kita untuk meng-klik link-link yang ada di website mereka ataupun yang ada dalam email yang mereka kirim. Kita dibayar sangat kecil per klik, tapi kalau kita punya downline, kita mendapatkan persentase dari penghasilan downline kita, biasanya antara 10% sampai 15%. Jadi kalau mau cepat naik komisinya, kita harus rekrut downline.
Nah, sekarang jelas kan bedanya Network Marketing dengan Multi Level Marketing? Network Marketing lebih luas daripada Multi Level Marketing, Multi Level Marketing merupakan bagian dari Network Marketing.
Sumber: www.menabung.info

Menjadi Agen Asuransi Jiwa

Bekerja menjadi agen asuransi jiwa menjanjikan penghasilan yang besar, sangat besar, tidak terbatas, hanya dibatasi oleh usaha kita saja. Banyak sekali agen asuransi jiwa yang punya penghasilan puluhan bahkan ratusan juta rupiah per bulan. Jauh di atas gaji direktur sebuah perusahaan. Kerjanya juga enak, tidak ada jam kantor, serba bebas. Asal jangan kebablasan bebas sehingga malah bebas main, bukannya kerja.
Kenapa penghasilan para agen asuransi jiwa bisa begitu besar? Jawabannya adalah komisi yang besar. Tentu besar komisi ini berbeda-beda untuk setiap produk dan setiap perusahaan asuransi jiwa, tapi rata-rata komisi agen asuransi jiwa itu sekitar 30% dari premi dasar yang dibayarkan nasabah. Jadi kalau ada nasabah yang setuju untuk membeli asuransi dengan premi dasar Rp 100 juta, anda bisa dapat komisi sampai dengan Rp 30 juta! Jangan lupa dipotong pajak ya.. Bagi yang belum mengerti mengenai premi dasar, silakan klik di sini untuk melihat penjelasannya.
Nah, bayangkan kalau Anda bisa mendapatkan 10 nasabah saja per bulan dengan masing-masing punya membayar premi dasar Rp 5 juta, komisi Anda bisa mencapai Rp 15 juta. Pasti banyak yang berpikir, saya enak saja ngomong seperti itu, kan susah dapat 10 nasabah per bulan yang mau bayar Rp 5 juta per tahun. Kenyataannya, banyak agen asuransi jiwa yang setiap bulannya mendapatkan lebih dari 10 nasabah dengan premi dasar ratusan juta rupiah.
Yang menentukan bisa atau tidak adalah Anda sendiri, usaha dan kemauan Anda. Seperti yang dikatakan di seminar-seminar motivasi, Anda pasti bisa!
Anda mungkin bertanya, kenapa komisi agen asuransi jiwa bisa begitu besar? Karena di Indonesia rakyatnya masih belum terlalu asuransi minded, jadi tugas agen asuransi jiwa di Indonesia adalah untuk meyosialisaikan asuransi jiwa, dengan cara mencari nasabah, dan agen dibayar besar untuk itu karena itu adalah tugas yang cukup sulit. Coba bandingkan dengan komisi agen asuransi jiwa di negara-negara yang penduduknya sudah pada asuransi minded, dan tanpa ditawarkan asuransi jiwa pun mereka sudah mencari sendiri. Komisi mereka jauh lebih kecil daripada komisi agen asuransi jiwa di Indonesia! Makanya manfaatkan kesempatan ini untuk cari duit sebanyak-banyaknya sebelum rakyat Indonesia sudah cari asuransi sendiri tanpa perlu ditawari lagi karena komisi agen asuransi di Indonesia juga akan turun karenanya.
Yang harus dimiliki oleh agen-agen asuransi jiwa:
1. Product knowledge yang baik, sehingga Anda dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh prospek berkenaan dengan produk asuransi yang Anda jual. Anda juga harus mengenal betul perusahaan tempat Anda bekerja, kadang-kadang prospek sering menanyakan juga tentang perusahaan, misalnya sejak tahun berapa berdirinya, di mana kantor pusatnya dll.
2. Relasi yang luas. Kalau Anda merasa tidak punya banyak relasi, tidak perlu khawatir, banyak cara untuk mendapatkan relasi baru. Gunanya relasi tentu untuk diprospek menjadi nasabah.
3. Anda harus dapat mengatasi semua keberatan prospek (handling objection). Pada prinsipnya, prospek yang tidak mau membeli asuransi jiwa dari Anda pasti punya keberatan. Kalau Anda bisa menangani semua keberatan itu, prospek pasti mau beli. Kecuali kalau keberatan prospek adalah tidak punya uang, dan memang betul dia tidak punya uang cukup untuk beli asuransi jiwa, berarti Anda salah memilih calon nasabah!
4. Kemauan yang kuat dan semangat pantang menyerah. Agen-agen asuransi jiwa sangat sering ditolak oleh prospek, dengan berbagai cara, lembut dan kasar. Anda harus tahan mental menangani penolakan. Ingat, Anda menjual asuransi bukan semata-mata untuk mendapatkan uang saja, tetapi Anda juga ingin memberikan manfaat yang sangat baik dari asuransi kepada prospek Anda, supaya ia punya masa depan yang lebih baik. Kalau ia sanggup beli dan tetap menolak, biarkan saja, berarti dia tidak terlalu memikirkan masa depannya dan keluarganya (atau dia memang sudah punya banyak asuransi jiwa). Cari saja lagi yang lain, Anda tidak akan pernah kehabisan prospek.
Keuntungan menjadi agen asuransi jiwa:
• Anda yang menentukan penghasilan Anda sendiri.
• Anda bebas mengatur waktu kerja Anda sendiri. Tidak ada waktu ngantor dari jam 8 sampai jam 5.
• Komisi dan bonus yang besar.
Sedangkan kerugiannya menurut saya hanya satu: tidak ada gaji tetap, semuanya berdasarkan komisi. Kalau tahan mental dan kerja keras sih bukan kerugian, tapi itu resiko kerja.
Gimana, tertarik jadi agen asuransi jiwa?Mauu??
Sumber: www.menabung.info

Bisnis Asuransi Jiwa Masih Cerah, Banyak Pula Tantangannya

LAPORAN Bisnis Asuransi Jiwa dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang dipublikasikan akhir April 2003 mencatat jumlah penerimaan premi tahun 2002 sebesar Rp 11,2 triliun, meningkat 25 persen dibandingkan tahun 2001. Selama kurun waktu lima tahun ke belakang pertumbuhan penerimaan premi cukup baik, yaitu berkisar 20 persen-25 persen.
TAHUN 2003 ini jumlah penerimaan premi industri asuransi jiwa nasional diperkirakan tumbuh minimal 25 persen-30 persen. Data ini menunjukkan masih cerahnya bisnis asuransi jiwa di Indonesia. Beberapa indikator memperlihatkan masih besarnya potensi pasar. Antara lain, masih sedikitnya penduduk Indonesia yang terjangkau oleh asuransi jiwa.
Tahun 2001, dari jumlah penduduk sebesar 208,9 juta jiwa yang telah menjadi tertanggung baru 25,29 juta jiwa atau 12,1 persen. Bahkan, bila dihitung dari penduduk yang telah memiliki polis asuransi jiwa atas nama sendiri, maka diperkirakan jumlahnya hanya 2 persen!
Kondisi ekonomi Indonesia tahun 2003 dan seterusnya diprediksi akan membaik dibandingkan tahun 2002. Indikator lain adalah berbagai langkah pemerintah sebagai regulator bisnis asuransi yang terus berupaya menyempurnakan peraturan-peraturan tentang tata kelola perusahaan asuransi jiwa untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Produk unit link melesat
Di samping indikator tersebut di atas, ada beberapa indikator lain yang turut mendukung potensi pengembangan. Antara lain adalah terus berkembangnya jumlah agen asuransi jiwa sebagai tulang punggung distribusi produk. Tahun 2002 sebanyak 78.218 orang, meningkat 10 persen dibandingkan tahun 2001 yaitu 71.307 orang. Kenaikan ini memberikan peluang peningkatan jumlah penerimaan premi tahun 2003.
Meningkatnya jumlah agen ini dibarengi juga oleh mulai membaiknya kualitas sumber daya manusia (SDM) asuransi. Hal ini dimungkinkan karena adanya lembaga pendidikan yang memasukkan mata pelajaran/kuliah mengenai pengetahuan asuransi pada kurikulum. Bahkan, ada perguruan tinggi khusus yang mengajarkan tentang pengetahuan dan praktik-praktik asuransi.
Perusahaan asuransi pun semakin banyak menyelenggarakan in-house training secara teratur. Di samping SDM asuransi, adanya asosiasi yang khusus terkait dengan asuransi jiwa, yakni Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sangat membantu pengembangan. Semula kegiatan pengembangan industri dilakukan oleh Bidang Asuransi Jiwa dari Dewan Asuransi Indonesia (DAI). DAI saat ini merupakan federasi dari 3 (tiga) asosiasi asuransi, yakni AAJI, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI). Dengan AAJI ini diharapkan adanya perhatian yang lebih fokus terhadap perkembangan bisnis asuransi. Indikator lain yang cukup penting adalah banyaknya produk-produk asuransi yang ditawarkan.
Saat ini produk-produk asuransi jiwa yang dipasarkan cukup banyak variannya dan hampir mampu memenuhi kebutuhan asuransi jiwa bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asuransi jiwa bahkan meluncurkan produk baru yang saat ini sangat diminati oleh masyarakat yang memiliki modal, yaitu produk unit link. Produk yang merupakan kombinasi antara proteksi asuransi dan investasi ini mampu mendongkrak kontribusi perolehan premi yang cukup signifikan.
Saat diluncurkan pertama kalinya tahun 1998 produk unit link hanya dipasarkan oleh tiga perusahaan asuransi jiwa, maka pada awal tahun 2003 ini telah menjadi 16 perusahaan. Industri asuransi jiwa tahun 2002 mampu membukukan premi unit link Rp 831 miliar, naik dari Rp 367 miliar tahun 2000.
Kualitas agen asuransi
Peluang yang ada bagi perusahaan asuransi jiwa di Indonesia cukup banyak. Namun, tetap ada tantangan. Hal ini dibutuhkan keberpihakan semua unsur. Para pemilik perusahaan asuransi jiwa, pengelola, masyarakat, pengamat, dan pemerintah hendaknya secara bersama mengembangkan bisnis asuransi jiwa sesuai bidangnya.
Diharapkan asuransi jiwa di masa depan akan menjadi bisnis primadona dan pilar ekonomi yang diperhitungkan. Bagi masyarakat sebagai pengguna jasa, asuransi jiwa merupakan lembaga yang mampu memberikan kontribusi ketenangan dan kenyamanan dalam menjalani hidup dan kehidupan yang penuh risiko, antara lain risiko kecelakaan dan risiko kematian sebagai efek samping dari perkembangan teknologi.
Dalam upaya mengembangkan potensi asuransi yang begitu besar, industri asuransi jiwa di Indonesia masih menghadapi tantangan-tantangan. Kondisi sumber daya manusia (SDM) yang ada terutama agen asuransi jiwa merupakan tantangan yang harus dihadapi. Pada umumnya para agen asuransi jiwa belum memiliki kualifikasi seperti yang diharapkan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat drop-out agen.
Ditambah lagi dengan minat angkatan kerja terhadap profesi asuransi jiwa masih sangat kecil bila dibandingkan dengan kelulusan pendidikan setingkat strata satu (S-1). Hal ini dikarenakan mata kuliah asuransi jiwa di perguruan tinggi belum merupakan silabus pokok sehingga pengetahuan dan informasi tentang asuransi jiwa belum sepenuhnya diketahui para mahasiswa. Padahal, seandainya mereka mengetahui prospek penghasilan dari profesi ini yang menjanjikan. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi AAJI untuk mensosialisasikan pengetahuan dan informasi keberadaan dan olah kerja asuransi jiwa di Indonesia.
Risk based capital
Tantangan berikutnya yang masih krusial adalah Peraturan Pemerintah/ Keputusan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Risk Based Capital (RBC). Secara bertahap ketentuan RBC diberlakukan yaitu untuk tahun 2002 mencapai 75 persen, tahun 2003 sebesar 100 persen, dan tahun 2004 sebesar 120 persen.
Ketentuan RBC ini makin dirasakan berat oleh beberapa perusahaan asuransi jiwa. Hal ini menyebabkan kesulitan mengembangkan bisnisnya bagi mereka yang tidak mampu memenuhi ketentuan di atas. Dan celakanya karena profil perusahaan dipublikasikan melalui media massa sebagai dampak dari sifat keterbukaan dalam olah kelola perusahaan, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dan loyalitas masyarakat. Bahkan, tidak mustahil akan terjadi rush terhadap perusahaan tersebut.
Padahal, di sisi lain pemerintah pun berkewajiban membina dan melindungi mereka dari keterpurukan. Dalam hal ini pemerintah harus berpikir mengenai kepentingan semua pihak, yaitu pemegang polis, perusahaan asuransi jiwa itu sendiri dan perkembangan perasuransian secara menyeluruh. Tantangan lainnya adalah berkaitan dengan pihak pemerintah. Dengan semakin berkembangnya industri asuransi jiwa di Indonesia, maka hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan sebagai regulator, untuk menerbitkan/ memperbaiki undang-undang, peraturan pemerintah, dan perangkat hukum lainnya.
Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mengatur pengelolaan bisnis asuransi jiwa yang dapat melindungi kepentingan semua pihak. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, semua pihak yang mempunyai kepentingan terhadap kinerja bisnis asuransi jiwa memiliki peluang untuk mengamati dan memberikan kritik. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya media massa yang mengulas isu-isu yang berkaitan dengan asuransi jiwa.
Di sisi lain hal ini menjadi indikator bahwa bisnis asuransi tidak dapat dilihat hanya sebelah mata. Eksistensi asuransi sudah mampu menyejajarkan dirinya dengan pilar-pilar ekonomi negara lainnya, walaupun kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemerintah masih belum menyamai lembaga keuangan sektor perbankan.
Kendala lain yang dihadapi perusahaan asuransi jiwa di Indonesia saat ini adalah dalam rangka membangun sistem informasi berteknologi tinggi. Sistem ini memerlukan dana yang cukup besar dan infrastruktur yang dimiliki belum memadai terutama untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat kegiatan bisnis.
Di lain pihak, perusahaan asuransi asing yang ikut bermain di Indonesia telah memiliki sistem informasi berteknologi tinggi dan didukung oleh kualitas SDM yang terlatih dan memiliki keterampilan yang cukup sehingga mereka dapat segera mengembangkan bisnisnya dan mampu menggeser posisi perusahaan asuransi nasional.
Memiliki visi yang sama
Dari uraian tersebut di atas yang berhubungan dengan berbagai peluang dan tantangan dapat disimpulkan bahwa industri asuransi jiwa di Indonesia akan mampu bersaing, apabila semua pihak yang berkepentingan memiliki visi yang sama dalam mengembangkan bisnis asuransi jiwa.
Pihak pemerintah sebagai regulator harus terus mempersiapkan undang-undang, peraturan dan perangkat hukum yang jelas dan tegas dalam pengelolaan bisnis, dan mampu melindungi semua pihak yang berkepentingan terhadap olah kerja asuransi jiwa.
Di samping itu pihak federasi dan asosiasi asuransi yaitu DAI dan AAJI sebagai wadah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia yang bekerja sama dengan pemerintah harus mampu menjembatani kepentingan masing-masing pihak dalam mengembangkan asuransi jiwa.
Pihak yang sangat berperan dalam pengembangan industri asuransi jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa. Mereka harus memiliki berbagai kemampuan dan komitmen. Pertama, kemampuan mengelola bisnis asuransi jiwa secara profesional untuk memenuhi kebutuhan asuransi jiwa masyarakat pengguna jasa tersebut.
Kedua, kemampuan mengelola kinerja keuangan perusahaan sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah agar masyarakat pengguna jasa asuransi jiwa yakin terhadap keamanan dana yang dibelanjakan pada produk-produk asuransi jiwa, dan mampu memberikan manfaat/benefit sesuai jenis produk yang dibelinya.
Ketiga, kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan para pengelola bisnis asuransi jiwa dan memiliki moral yang baik demi perkembangan bisnis secara umum. Keempat, memiliki komitmen terhadap pelayanan purna jual sebagai pilar utama dalam mengelola bisnis asuransi jiwa sehingga mampu mempertahankan loyalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa.
Pihak lain yang juga berperan dalam pengembangan industri asuransi jiwa adalah media. Peran serta media memiliki kontribusi yang besar dalam rangka mensosialisasikan dan mengamati kinerja perusahaan asuransi jiwa kepada masyarakatsehingga diharapkan masyarakat memiliki pengetahuan tentang manfaat asuransi bagi keluarga dan dirinya.
Era Pasar Bebas ASEAN
Mulai tahun 2003 ini, era Pasar Bebas ASEAN atau AFTA (ASEAN Free Trade Area) telah bergulir di Indonesia. Bagi bisnis asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum- mau tidak mau-harus menerima keadaan ini dengan penuh optimisme yang tinggi. Optimisme untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar tetap memperoleh kepercayaan dan loyalitas dari masyarakat terhadap kebutuhan dan manfaat perlindungan finansial yang telah diberikan oleh perusahaan asuransi.
Para pelaku bisnis asuransi jiwa di Indonesia tidak perlu merasa gerah dengan masuknya para pemain asing. Mereka belum tentu memiliki kemampuan yang lebih baik karena perusahaan asuransi jiwa nasional memiliki kelebihan pengetahuan tentang karakteristik pasar di Indonesia. Bahkan, sebaliknya perusahaan asuransi jiwa nasional yang memiliki kinerja perusahaan yang bagus dan memperoleh kepercayaan dan loyalitas di dalam negeri perlu memperluas jaringan distribusi ke negara ASEAN dan kawasan Asia Pasifik berpotensi pasar cukup bagus.
Dengan kelebihan yang dimiliki, maka diharapkan para pelaku bisnis asuransi jiwa di Tanah Air tetap memiliki optimisme dan komitmen yang tinggi untuk tetap berjuang secara sinergis dalam mengembangkan bisnis asuransi jiwa. Dengan demikian diharapkan eksistensi asuransi jiwa akan memiliki kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara serta keberadaannya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Herris B Simandjuntak Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Wakil Ketua Bidang Pengembangan Industri Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Kompas Rabu, 28 Mei 2003

Konsep At-Ta’min (Asuransi) Dalam Literatur Fiqh Klasik

Masih ingat statemen Gus dur tentang Ekonomi Syariah? Beliau mengatakan ” Ekonomi Syariah hanya kapitalis plus-plus”. Bagi saya statemen mi menarik dan sekaligus tantangan bagi para ulama, pakar Ekonomi Syariah dan para praktisi Ekonomi Syariah.

Saya tidak akan membahas ekonomi Islam (Syariah) secara keseluruhan kemudian memberikan argumentasi syar’i atau bukti-bukti ilmiyah bahwa Ekonomi Islam muncul dari Perut? Fiqh Islam itu sendiri bukan dari teori kapitalis kemudian ditempeli ayat-ayat & hadits Nabi disana-sini.

Dalam risalah yang amat terbatas ini saya ingin mengutipkan salah satu instrument Ekonomi Islam yaitu At-ta’min (Asuransi) dalam literature fiqh klasik.

Menurut para ulama yang pakar dalam perundang-undangan Islam, ada beberapa konsep yang mengarah kepada konsep At-Ta’min (Asuransi) berdasarkan Syari’ah Islam, diantaranya adalah[1]:

1.Al ’Aqilah : Saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu, mereka mengumpulkan dana (AI-Kanzu) yang mana dana tersebut untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja[2].

Sebagaimana dalam firman Allah swt:

” Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunub seorang mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunub seorang mukmin karena tersalah maka hendaklah seorang hamba sahaya beriman serta membayar diat...” (QS.Annisa 4:92)

Aqilah merupakan istilah yang masyhur dikalangan fuqoha, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai cikal bakal konsep asuransi syari’ah. Aqilah berasal dari tradisi suku Arab jauh sebelum Islam datang.

Jadi Aqilah merupakan tanggung jawab kelompok, sehingga para ahli hukum Islam mengklaim bahwa dasar dari tanggung jawab kelompok itu terdapat pada sistem Aqilah sebagaimana dipraktikkan oleh muhajirin dan anshar.

2. AI-Muwalat : (Perjanjian jaminan) Penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin mati, penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada warisnya[3].

3.Al-Qasamah : Konsep perjanjian ini juga berhubungan dengan jiwa manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majlis. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa pembunuhnya atau tidak ada keterangan saksi yang layak untuk benar-benar secara pasti mengetahui siapa pembunuhnya[4].

4. At-Tanahud : makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar kemudian dicampur jadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda.

5. Rasulullah SAW bersabda:Bahwa marga Asy’ari (asy’ariyyin) ketika keluarganya ,mengalami kekurangan bahan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan kemudian dibagi diantara mereka secara merata, mereka adalab bagian dari kami dan kami ada/ah bagian dari mereka?[5]

Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadamya atau berbeda-beda. Begitu halnya dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya dan bisa berbeda-beda.

6. Al ‘’Umra (Donation for life)

Al Baji (494 H) bemadzhab Maliki ketika mendiskusikan masalah jual beli gharar mengatakan :jika A menyerahkan rumahnya kepada pihak B dengan kompensasi B memberikan biaya hidup kepada A sampal ia meninggal?. Albaji berkomentar :saya tidak setuju dengan model transaksi seperti itu, tapi jika terjadi, saya tidak membatalkannya.[6]

Rumah, dalam kasus diatas, sebagai premi dalam asuransi, sedangkan biaya hidup selama hayat adalah sebagai manfaat asuransi yang akan diperoleh oleb (A)/peserta.

- Kontak pengawal keselamatan

- Jaminan keamanan lalu lintas, suatu akad yang diterima oleh ulama? Madzhab Hanafi.

- Penerimaan pengganti bayaran bila barang amanah rusak

- Sistem pensiun

Dr. Jafril Khalil, dalam makalahnya menambahkan beberapa bentuk-bentuk akad lainnya, selain yang telah kita jelaskan diatas yang mirip dengan konsep asuransi dan sudah jama? dan biasa digunakan di dunia Islam.[7]

1. Aqd al-hirasah: (Kontrak Pengawal Keselamat.an) :Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu, misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi keamanannya akan dijaga oleh pengawal.

2. Dhiman Khatr Tariq: Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan perlindungan keselamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya.

3. Al-Wadi?ah biujrin: dalam kontrak wadiah ini jikalau kerusakan pada barang ketika dikembalikan, maka pihak penerima wadiah wajib menggantinya, karena

ketika menitipkan pihak penitip telah membayar sejumlah uang kepada tempat penitipan.

4. Nizam al-Taqaud: Sistem pensiun yang sudah lama berjalan di dunia Islam. Jadi pegawai suatu instansi berhak mendapat jaminan haritua berupa pensiun, sebagai pampasan dari usahanya ketika ia bekerja pada dahulu.

Bentuk-bentuk muamalah diatas, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas amal Tathowwu’ dan tabarru’ terbuka yang tidak berorientasi kepada profit.

Menurut beberapa literatur, kira-kira abad kedua Hijriah atau abad keduapuluh Masehi, pelaku bisnis dari kaum muslimin yang kebanyakan para pelaut, sebenamya telah melaksanakan sistem kerja sama atau tolong menolong untuk mengatasi berbagai kejadian dalam menopang bisnis mereka, layaknya seperti mekanisme asuransi.

Kerjasama ini mereka lakukan untuk membantu mengatasi kerugian bisnis, diakibatkan musibah yang terjadi semisal, tabrakan, tenggelam, terbakar atau akibat serangan penyamun.

Sekitar tujuh abad kemudian, sistem ini akhimya diadopsi para pelaut eropa dengan melakukan investasi atau mengumpulkan uang bersama dengan sistem membungakan uang. Sekitar abad kesembilan belas, cara membungakan bunga inipun menjelajahi penjuru dunia, terutama setelah dilakukan para taipan keturunan yahudi[8] yang membuat prinsip tolong-menolong itu dirubah bentuknya menjadi perusahaan?perusahaan dagang. Dunia Islam berta?aruf dengan asuransi sekitar abad ke-19 melalui penjajahan Dunia Barat alas beberapa bagian Dunia Islam, dimana kebudayaan dan hukum-hukumnya dipaksakan kepada masyarakat muslim.

Ibn 'Abidin (1784-1836) dianggap orang pertama dikalangan fuqaha' yang mendiskusikan masalah asuransi. Ibn 'Abidin adalah seorang ulama bermadzhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, Hasyiyah Ibn 'Abidin bab Jihad, pasal Isti'man al kafir, beliau menulis:

Bahwa telah menjadi kebiasaan bilamana para pedagang menyewa kapal dan seorang harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untuk seorang harby yang berada dinegeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagal sukarah (premi asuransi), dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang disewanya itu, apabila musnah karena kebakaran, atau kala tenggelam, atau dibajak atau sebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu menjadi penaggung, sebagai imbalan uang yang diambil dari pedagang itu. Penanggung itu, mempunyai wakil yang mendapat perlindungan (musta'man) yang bertempat di kota-kota pelabuhan negara Islam atas izin penguasa. Wakil tersebut menerima uang premi asuransi dari para pedagang tersebut, dan apabila barang-barang mereka terkena masalah yang disebutkan diatas maka si wakillah yang membayar kepada para pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar jumlah uang yang pemah diterimanya.[9]

Kemudian beliau menyatakan, yang jelas, menurut saya tidak boleh bagi si pedagang rnengambil uang pengganti dan barang-barangnya yang telah musnah itu, karena hanya yang demikian itu iltizamu ma/am yalzam mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/ wajib[10].

Pandangan fuqaha (ahli fiqih), dibidang syani'ah merupakan pencerminan dan pandangan Islam mengenai soal-soal kehidupan manusia, baik dibidang ibadah maupun muamalah. Masalah asuransi, yang merupakan suatu bentuk muamalah dan dilemparkan ditengah-tengah Dunia Islam sebagai akibat dari interaksinya dengan dunia barat, telah mengundang respon dan para pemerhati muamalah Islam, terutama pada abad ke-20 ini. Para fuqaha menyadari bahwa asuransi (baik dalam bentuk wujud maupun pengaturannya) merupakan persoalan yang belum pernah dikenal sebelumnya, sehingga hukumnya yang khas tidak ditemukan dalam fiqih yang beredar di dunia Islam. OIeh karena masalah asuransi dalam Islam termasuk ruang lingkup Ijtihadiyyah.[11]

Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam bergulir secara kontinu, sehingga mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat

disepakati bersama serta menjadi acuan dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual, kerjasama (ta'awuni), atau at-takmin ta'awuni. Konsep Asuransi Ta'awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1876 M di Mekah. Peserta hampir 200 para ulama. Kemudian dibuatkan lagi pada Majma' al-Figh al-Islami yang bersidang pada 28 Desember 1985 di Jeddah, juga memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan.

Majma' Fiqih juga secara ijma' mengharuskan asuransi jenis kerjasamaa (ta'awuni) sebagai altenatif asuransi Islam menggantikan jenis asuransi konvensional. Majma' Fiqih menyerukan agar seluruh ummat Islam dunia menggunakan asuransi ta'awuni.

Untuk merespon fatwa tersebut dan kebutuhan ummat terhadap asuransi Islam, maka pada tahun 1979 berdirilah Asuransi Islam Sudan kemudian disusul oleh negara-?negara lain seperti Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, Singapura, Saudi Arabia, Bahrain, USA, dll. Jadi khasanah Ekonomi Islam adalah lahir dari Perut Syariat Islam itu sendiri bukan dari perut Kapitalis, Yahudi atau Nasharoh. Wallahu Alam.

_______________

[1] Ahmadi Sukarno, Asuransi Islam Dalam Tinjauan Sejarah dan Perspektif Ulama (makalah), Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, hal 11-14. Lihat juga Jafril Khalil, Konsep dan Falsafah Asuransi Syariah, Makalah Training Certified Islamic Insurance Specialist, Diklat Depkeu, 2003, hal 4-6

[2] A1 Mu?jam Wasith, Majama Al Lughah Al Arabiah, Al Maktab Al Islami, Turki, 1972, hal 617. Lihat juga Mohd Fadzli Yusof, Brief Outline On The Concept and Operational System of Takaf?l Business, BIRT, Malaysia, 1996, hal 7

[3] Az-Zarqa, Aqdud Ta?min, hal 23. Lihat juga Mohd Fadzli Yusof, Takaful Sistem Insurans Islam, Utusan Publications & Distributors SDN BHD, Malaysia, 1996, hal 8

[4] Mohd Fadzli Yusof, Ibid, hal 8-9

[5] Bukhari, Mukhtashar Sahih Bukhari, hadits ke 1076

[6] Yunus, Rafiq Al Misri, Al Khathar wat Ta?min, Darul qolam Damaskus, cet I, 2002

[7] Jafril KhaIiI, Op., Cit., hal 5

[8] Masyhuril Khamis, At Takaful Asuransi Syariah Suatu Solusi (makalah)

[9] Abidin, Ibn, Raudhatul Mukhtar, AI-Amiriyyah, Cet I, Juz 3/249. Lihat juga Az-Zarqa, Musthafa Ahmad, Aqdut Ta?min Wamaudzif?s Syariah Al Islamiyah minhu, Damaskus, 1962, hal 15

[10] Al Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Al Islarni Wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikri, 1984, Cet 1,41441

[11] Ahmadi Sukarno, Op Cit., hal 14

Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ,FIIS diambil dari www.ekonomisyariah.org

Landasan Syariah Asuransi Syariah

A. Definisi Asuransi Syariah (Takaful)
1) Arti Kata Takaful
Secara bahasa, takaful ( تكافل ) berasal dari akar kata ( ك ف ل ) yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Dalam Al-Qur'an tidak dijumpai kata takaful, namun ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti dalam :
QS. Thoha/ 20 : 40
إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَنْ يَكْفُلُهُ
"(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir'aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?"
QS. Annisa/ 04 : 85 :
وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا
"Dan barangsiapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya.."
2) Arti Takaful Dalam Pengertian Muamalah :
Saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (baca ; tabarru') yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
Takaful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Maidah/ 5 : 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
Implementasi Takaful Sebagaimana Digambarkan Hadits (المعنى التطبيقي للتكافل كما بينه الحديث النبوي)
Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
"Dari Nu'man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, 'Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam." (HR. Muslim)
B. Definisi Asuransi Syariah Menurut DSN ( التعريف بالتأمين الإسلامي عند الهيئة الشرعية الوطنية )
Asuransi Syariah (Ta'min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
C. Diantara Cikal Bakal Asuransi Syariah ( النشأة الموجزة للتأمين الإسلامي )
- Al-Aqila ( العاقلة )
Yaitu saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku yang lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi saudara terdekat dari terbunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja.
- Al-Muwalah ( المولاة )
Yaitu perjanjian jaminan. Penjamin menjamin seseroang yang tidak memiliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya.
D. Dasar-Dasar Syar?i Asuransi Syariah ( الأدلة الشرعية لبناء التأمين الشرعي )
1) Perintah Allah SWT Untuk Mempersiapkan Hari Depan.
Allah SWT berfirman QS. An-Nisa/ 04 : 09 :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
Ayat ini menggambarkan kepada kita tentang pentingnya planning atau perencanaan yang matang dalam mempersiapkan hari depan. Nabi Yusuf as, dicontohkan dalam Al-Qur?an membuat sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan (QS. Yusuf/ 12 : 43 ? 49)
2) Bahwa berasuransi tidak berarti menolak takdir
Berasuransi tidaklah berarti menolak takdir atau menghilangkan ketawakalan kepada Allah SWT, karena :
* Karena segala sesuatunya terjadi setelah berpikir dengan baik, bekerja dengan penuh kesungguhan, teliti dan cermat.
* Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, semuanya ditentukan oleh Allah SWT. Adapun manusia hanya diminta untuk berusaha semaksimal mungkin.
Allah SWT berfirman QS.
Attaghabun/ 64 : 11
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
"Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah."
Jadi pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, musibah dan kematian merupakan qodho dan qodar Allah yang tidak dapat ditolak. Hanya kita diminta untuk membuat perencanaan hari depan (QS. A-Hasyr/ 59 : 18)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
والحمد لله رب العالمين
By: Rikza Maulan Lc MA (Sekretaris Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia)-Tazkia.Online

Pentingnya Asuransi Islam

Bagi setiap muslim sesungguhnya hidup dan mati hanya untuk Sang Pencipta Allah SWT semata-mata. Dalam tekad itu terkandung konsekuensi, setiap muslim harus berislam bukan hanya di masjid dan mushallah, ketika shalat, puasa, zakat dan berhaji saja, akan tetapi juga ketika ia berada di pasar, bank dan perkantoran. Ketika ia sedang bertransaksi, berinvestasi di pasar modal, dan juga ketika berasuransi.
Semangat itu pula yang mestinya menjiwai semarak kebangkitan ekonomi Islam di dunia. Di Indonesia sendiri, sejak sistem bank tanpa bunga di perkenalkan melalui UU No 7 1992 tentang Perbankan, yang dipertegas dengan diakuinya dual banking system, perbankan syariah tumbuh dengan cepat dalam tiga tahun terakhir. Data–data menunjukkan pangsa total aktiva perbankkan naik dari dari 0,11 persen pada 1999 menjadi 0,33 persen pada 2001. Dana pihak ketiga naik dari 0,07 persen menjadi 0,3 persen pada kurun waktu sama, dan kantor juga semakin meluas menjangkau 29 kota di pulau Jawa, Sumatera , Sulawesi dan Kalimantan.
Di bidang asuransi, perkembangan yang sama pun terjadi . Saat ini, perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga ( jiwa ), dan Mubarakah. Selain itu beberapa perusahaan asuransi konvensional telah membuka divisi syariah yakni MAA, Great Eastern, Bumiputera (asuransi jiwa ), dan Tripakarta. Data Departemen Keuangan menunjukkan, market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0,3 persen dari total premi asuransi nasional. Perkembangan ke depan diperkirakan akan lebih marak lagi mengingat kondisi dakwah Islam yang semakin luas cakupannya, sehingga meningkatkan awareness masyarakat. Di samping itu beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan asuransi syariah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah . Di bidang aturan hukum, saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki.
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing).
Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sesungguhnya Allah SWT sudah menegaskan hal ini dalam beberapa firmanNya di dalam Alquran, antara lain dalam surat al Maidah ayat 2, dan al Baqarah ayat 177. Demikian pula janji Allah untuk senantiasa “menyediakan makanan dan menyelamatkan dari ketakutan” (Q.S. Quraisy: 4) seringkali kita rasakan melalui tangan orang lain yang digerakkan Allah untuk membantu kita dalam rangka memenuhi janjiNya tersebut. Banyak pula hadis Rasulullah SAW yang menyuruh umat Islam saling melindungi dalam menghadapi kesusahan.
Berdasarkan ayat Alquran dan hadis di atas, sesungguhnya musibah, ataupun risiko kerugian akibat musibah, wajib ditanggung bersama (risk sharing). Jadi, bukan setiap individu menanggung sendiri-sendiri (risk retention), bukan pula dialihkan ke pihak lain (risk transfer). Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility), yang bisa disingkat dengan prinsip CPM.
Jelas berbeda dengan apa yang berlangsung di asuransi konvensional. Di sana yang terjadi adalah transfer risiko. Anda membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu anda pikul kepada perusahaan asuransi. Di sini terjadi ‘jual beli’, dengan komoditasnya adalah risiko kerugian, yang belum pasti terjadi. Di sinilah ‘cacat’ dari perjanjian asuransi konvensional, jika dilihat dari sudut pandang Islam. Teori akad dalam Islam mensyaratkan adanya komoditas (objek akad) yang pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa. Cacat ini diperburuk lagi dengan kondisi bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan berjumlah berlipat-lipat kali manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila risiko yang dipertanggungkan terjadi.
Memang, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini karena prinsip ganti rugi dalam asuransi sudah mengatur bahwa ganti rugi tidak mungkin akan memberikan lebih dari jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi mekanisme transfer risiko seperti ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang paling sederhana, misalnya, ketika perusahaan asuransi mensyaratkan tertanggung untuk melakukan hal yang terbaik untuk mencegah terjadinya kerugian, antara lain dengan melakukan manajemen risiko secara ketat, di pihak lain tertanggung merasa tidak perlu melakukannya karena sudah mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi. Pada tataran yang lebih kompleks, bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar dari sebenarnya.
Dalam risk sharing yang dianjurkan dalam Islam, moral hazard seperti yang dimungkinkan dalam asuransi konvensional. InsyaAllah tidak akan terjadi karena setiap individu sejatinya menjadi penanggung bagi semua peserta. Dana yang terhimpun (pool of funds) selain digunakan untuk menyantuni peserta yang menderita kerugian, juga akan diinvestasikan (tentunya menurut kaidah investasi Islam), dan hasilnya akan dibagikan kembali kepada peserta sesuai prinsip mudharabah.
Hasil itu akan negatif apabila risiko yang dihimpun tidak dikelola dengan baik, sehingga jumlah klaim besar. Akibatnya peserta kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagi hasil. Mekanisme ini dengan sendirinya mendorong setiap peserta untuk melakukan pencegahan risiko dan mengelola risiko masing-masing dengan baik. Fraudulent claim pun sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Bukan saja karena ada dimensi moral dan etik yang inheren terdapat di dalamnya, namun juga karena mekanisme risk sharing itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip mudharabah, membuat orang secara sadar tercegah dari hal-hal yang buruk. Wallahu a’lam bis-Shawab.
By: Bey Sapta- Tazkia.Online